Sejarah tidak pernah benar-benar ditulis oleh para bangsawan.
Ia ditulis oleh mereka yang pernah merintih dalam gelap,
mencakar harapan dari reruntuhan, dan belajar berdiri di tengah angin badai.
Pemimpin sejati yang menjadi ikon peradaban bukan mereka yang lahir di istana,
melainkan yang tumbuh di lorong-lorong penderitaan.
Mengapa?
Karena kesulitan adalah madrasah jiwa.
Ia memaksa seseorang untuk mengenal dirinya lebih dalam,
melatih otot-otot kesabaran,
mengasah daya tahan mental,
dan yang paling penting menguatkan kepekaan sosial.
Di titik nadir itulah, seseorang menemukan bahwa dirinya tidak punya siapa-siapa…
kecuali Tuhan.
Bandingkan dengan para bangsawan yang banyak di antaranya mewarisi kekuasaan tanpa pergulatan.
Mereka hidup dalam kenikmatan yang menumpulkan rasa,
diapit protokol dan pagar-pagar emas yang menjauhkan mereka dari denyut rakyat.
Mereka bisa memimpin, tapi jarang menjadi pemimpin yang menggetarkan zaman.
Lihatlah Nabi Yusuf, yang dilempar ke sumur oleh saudaranya sendiri,
lalu dijual sebagai budak, dipenjara karena fitnah
tapi justru dari penjara itu ia keluar sebagai pengelola krisis Mesir.
Atau Nabi Musa, yang tumbuh di istana Firaun,
tapi justru menemui jati dirinya di padang gersang dan pembakaran semak suci.
Atau dalam sejarah modern: Nelson Mandela.
Ia tidak tumbuh di pusat kekuasaan.
Ia tumbuh dalam apartheid, 27 tahun dalam penjara,
tapi jiwanya tidak dipenjara.
Justru dari dalam jeruji itulah, ia menyusun peta damai bagi bangsanya.
Kesulitan memberikan hadiah paling langka dalam kepemimpinan: empati.
Dan empati ini yang membuat pemimpin menjadi ikon.
Bukan sekadar karena ia mampu mengatur,
tapi karena ia menginspirasi.
Ia menjadi cermin bagi rakyatnya:
bahwa dari reruntuhan pun, manusia bisa bangkit.
Bahwa dari luka, bisa lahir cahaya.
Dan barangkali, itulah yang membuat pemimpin dari lorong-lorong kesulitan
lebih dikenang dari para pewaris takhta:
karena mereka bukan sekadar hidup dalam sejarah,
tapi menghidupkan sejarah itu sendiri.
Untukmu yang mencintai perubahan, 21 Juli 2025